Minggu, 25 Januari 2015

HMY Efendi Nasution (Pendi Keling) - Lion Of North Sumatera

Salah satu pendiri Pemuda Pancasila Sumut H. M. Yunus. Effendi Nasution atau yang dikenal dengan Pendi Keling sangat layak disebut Lion Of North Sumatera karena beliau termasuk tokoh pemuda Sumut yang berpengaruh dan ikut menumpas G30SPKI.
Dikatakannya, istilah The Lion Of North Sumatera julukan untuk Pendi keling diberikan oleh jurnalis Amerika Serikat.  “Jadi yang melekatkan julukan Sang Singa Sumatera itu adalah media asing,” ujarnya belum lama ini.
Sementara itu, Ketua Umum MPN Pemuda Pancasila Yapto Suryo Sumarsono menilai kalau Pendi Keling adalah pendiri  sekaligus tonggak Pemuda Pancasila di Sumut. “Julukan Singa ini, bukan Singa yang seram, tapi singa yang pintar  memanajemen, pelatih handal, pemberani, karena beliau dihormati, disegani dan sebagai orator handal.”
Menurutnya, Pendi Keling adalah orang yang jujur, ikhlas dan tidak meminta bintang tanda jasa dan tidak minta dibayar  saat berjuang menumpas musuh yang ingin merubah undangundang dan falsafah bersama PP. “Dia sangat tahu strategi  menghancurkan musuh yang ingin merubah UU tersebut, jadi dia layak disebut Lion Of North Sumatera, lion yang  terhormat bukan lion yang menakutkan,” jelasnya.
Mantan Petinju ini juga berhasil mempersatukan para preman di Medan pada awal 1960-an sehingga mereka menjadi kekuatan politik.  Upaya Pendi Keling menyatukan rekan-rekannya dalam satu organisasi berhasil membuat mereka tak lagi disebut preman. Mengusung panji Pemuda Pancasila, mereka ikut membasmi simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tindakan mereka berbuah manis. Pemuda Pancasila pun menjelma menjadi organisasi kepemudaan besar di negeri ini. Di bawah kepemimpinan Pendi Keling, para preman yang umumnya mangkal di bioskop-bioskop menjelma menjadi orang terpandang dan tak jarang punya peran di dunia politik. Karena kiprahnya itulah Pendi Keling mendapat julukan Singa Sumatera. Dia juga sempat dipercaya menjadi anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) di Jakarta, selama dua tahun sejak 1968. Pendi Keling meninggal dunia 26 Agustus 1997, pada usia 63 tahun. Jalan HMY Efendi Nasution yang ditabalkan sebagai nama salah satu jalan di Kota Medan mengabadikan legendanya.

Johnny Sembiring: Antara Tembok Dan Tuhan

Johnny Sembiring adalah preman tulen. Nyalinya besar. Otaknya cerdas. Pernah satu sel dengann Kusni Kasdut the legend, sering keluar masuk bui dan merampok orang-orang besar pada zamannya. Channel-nya gak cuma kroco-kroco.
Dia punya kenalan orang-orang penting. Saking hebatnya, dalam biografi tentang dirinya (Antara Tuhan dan Tembok), diceritakan bahwa Bang Johny ini tetap bisa keluar malam untuk ‘mengusir jenuh’ meski dalam keadaan terpidana, yang mustinya mendekam di sel. Sayang, dalam proses tobatnya, Johny Sembiring mati ditembak. Siapa pembunuhnya? Tak jelas sampe sekarang meskipun peristiwa penculikan dan pembunuhan Johny Sembiring itu terjadi pada awal 90-an.
Konon, begitulah dunia preman. Membunuh atau dibunuh. Selama masih dibutuhkan, ia akan tetap dibiarkan hidup dan berkeliaran. Lumayan, tenaganya dan keberaniannya bak senjata yang bisa diletupkan siapa saja yang memegang pelatuk. Sebaliknya, mereka akan segera dimusnahkan bila telah muncul preman-preman baru, yang lebih bisa dikendalikan, dikontrol dan diandalkan.

* Kusni Kasdut:

Siapa yang tidak mengenal tokoh ini pada era 70 an, salah satu pejahat Legendaris, tertangkap dan di vonis hukuman mati atas segala perbuatannya…. Namun pada saat – saat akhir hayat nya ia bertobat dan dengan “tegar” menghadapi hukumannya. Saat menunggu hari eksekusi, dia menuangkan rasa cintanya terhadap agama yang telah dia anut dalam sebuah lukisan yang terbuat dari gedebog pohon pisang. 
Dalam lukisan tersebut, tergambar dengan rinci Gereja Katedral lengkap dengan menara dan arsitektur bangunannya yang unik. Dan sampai sekarang masih tersimpan rapi di Museum Gerja Katederal Jakarta. Ada sisi lain yang belum diketahui publik, kenapa Kusni Kasdut memilih menjadi perampok? Dia sangat kecewa dengan republik, utamanya para pejabat/penguasa pada waktu itu. Dia kecewa karena sebagai bekas tentara Heiho, dia merasa ditinggal dan tidak diperhatikan, gak dapat pensiun, padahal dia pernah berjuang untuk memerdekakan Republik Indonesia. Intinya dia merasa diperlakukan tidak oleh penguasa pada saat itu. Teman-teman dia banyak yang diangkat jadi polisi, tentara, dan lain-lain. Sementara dia cari pekerjaan sangat susah, akhirnya Kusni memutuskan menjadi penjahat sebagai balas dendam atas itu semua.

Suatu kisah tentang Jhony,:
Menurut jaksa, terdakwa, yang lebih dikenal dengan nama Johny Sembiring, terbukti menembak Letkol Penerbang Steven Adam. "Terdakwa sudah empat kali dihukum dan pernah lari dari Nusakambangan.
Ia sudah terbiasa mengalami proses peradilan. Tak heran bila sejak awal ia memungkiri terlibat pembunuhan," kata Jaksa Syachrul Bahrun, Kamis pekan lalu. Jaksa menilai, sangkalan Johny tak ada artinya.
jaksa juga mengesampingkan keterangan beberapa saksi yang memberi alibi bahwa pada saat kejadian - dinihari 29 Mei 1983 - Johny berada di tengah keluarganya di Jakarta. Jaksa juga tetap berpegang kepada pengakuan terdakwa dan para saksi lain dalam berita acara: malam itu Johny bersama beberapa kawan mendatangi rumah Steven. Steven, yang membuka pintu karena mendengar suara mencurigakan, segera ditembak dalam jarak sekitar tiga meter. Korban roboh, dan para penembaknya - termasuk Johny, yang melakukan eksekusi - kabur dengan mobil.
Latar belakang penembakan, menurut Jaksa, karena korban, yang disebut-sebut sebagai bos sindikat narkotik, berselisih dengan kelompok Robert dan Nico.
Robert adalah tetangga Steven, yang sempat menolong dan mengantar korban ke rumah sakit. Sedangkan Nico tak lain kapten polisi, yang menjadi kepala Bagian Operasi Polres Bogor. Oktober lalu, ia divonis 18 tahun penjara dan dipecat oleh mahkamah militer di Bandung.
Perselisihan itu disebabkan Steven menagih tunggakan uang pembayaran narkotik, yang mencapai puluhan juta rupiah, dari Robert dan kawan-kawan.
Johny belakangan bergabung dengan kelompok Robert dan Nico, serta melaksanakan pembunuhan itu, karena dijanjikan imbalan Rp 10 juta. Steven, 47, yang pernah menjadi pilot helikopter Presiden Soekarno, memang akhirnya tewas.
Berdasarkan pemeriksaan dan pengujian, bisa dipastikan bahwa memang pistol yang dipinjamkan Nico yang digunakan menembak Steven. Tapi Johny dan para tersangka lain menyangkal semua tuduhan. Menurut Johny, malam itu ia merasa tak pergi ke mana-mana. Keterangannya itu dikuatkan kesaksian beberapa orang adik dan adik iparnya, yang didengar dalam persidangan.
Pada malam kejadian, kata saksi,Johny berada di tengah mereka di sebuah rumah di Rawamangun, Jakarta. Kebetulan, seorang keponakan Johny berulang tahun. Konon, Johny berada di rumah itu sampai tengah malam. Padahal, menurut Jaksa, sejak sore Johny ada di Bogor, mempersiapkan pembunuhan yang dllaksanakan dinihari ltu."Bagaimana mungkin terdakwa, yang berada di tengah keluarganya di Jakarta, pada saat yang sama juga berada di Bogor?" kata pembela Johny, Mohammad Assegaf dan Otto Hasibuan. Pembela juga mempertanyakan soal jarak tembak.
Menurut keterangan istri korban, yang kemudian disitir Jaksa, Steven ditembak dari jarak tiga meter. Tapi, atas pertanyaan pembela, saksi ahli Dokter Rizkiwijaya dari LKUI menyebutkan, korban ditembak dari jarak sangat dekat sekitar enam inci. Perkiraan itu berdasarkan jelaga (bekas mesiu) yang ditemukan di dada korban. R.O. Tambunan, pengacara yang mendampingi Robert (terdakwa lain dalam kasus Steven Adam), juga tak percaya bahwa para terdakwa benar-benar terlibat dalam kasus itu. Ia sekaligus tak yakin, Steven dihabisi karena soal narkotik.
Berdasarkan informasi yang ia dengar, kata Tambunan, Steven sebenarnya dihabisi oleh suatu kelompok lain, karena perwira menengah AU itu tahu terlalu banyak tentang suatu hal. Sayangnya, Tambunan tak mau bicara banyak tentang siapa "kelompok" yang dimaksudkannya, dan hal apa pula yang diketahui Steven.
lebih nyusahin mana ama pejabat korup yg bebas berkeliaran seperti kutu dikepala.Penjahat paling2 bunuh orang cuma 1-5, lah ….pejabat korup bisa bunuh orang jutaan.

Usut Kasus Johnny Sembiring :

                                                                    SIARAN PERS
                                                          YAYASAN LBH INDONESIA
                                                                             tentang
                                           TEWASNYA JOHNNY SEMBIRING DAN UPAYA
                    PENERTIBAN APARAT KEAMANAN TERHADAP USAHA DEBT COLLECTOR
  ------------------------------------------------------------
  Sehubungan dengan terbunuhnya Johny Sembiring, pengusaha
bidang debt collector (penagih utang), yang mayatnya ditemukan di
Jalan Kampung Dukuh, Desa Sirnarasa, Kec. Cariu, Kab. Bogor pada
hari Jum'at 19 Agustus 1994, Yayasan LBH Indonesia perlu
mengemukakan beberapa hal yang juga berkaitan dengan polemik
tentang upaya penertiban aparat keamanan terhadap usaha debt
collector yang belakangan banyak dilansir media massa, sebagai
berikut :
     Pertama, Sekalipun motif tewasnya Johny Sembiring masih
belum dapat diungkap tuntas oleh aparat kepolisian namun dugaan
umum sukar dibantah, bahwa pembunuhan dengan cara kekerasan yang
dialami Johny Sembiring sangat berkaitan dengan kapasitasnya
sebagai seorang pengusaha debt collector.
     Tanpa memungkiri tidak jarang ditemukannya praktek
melanggar hukum lewat tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan
dari usaha debt collector, namun Yayasan LBH Indonesia menyesal-
kan cara-cara diluar hukum untuk menyelesaikan masalah munculnya
atau yang ditimbulkan dari usaha debt collector oleh pihak
manapun.
     Cara penyelesaian "kekerasan" lewat "kekerasan" merupakan
aksioma yang tidak dapat diterima didalam negara hukum dan tidak
akan menyelesaikan akar soal sesungguhnya, malah akan meningkat-
kan perasaan yang meluas tidak adanya kepastian hukum bagi
masyarakat.
     Oleh karenanya, Yayasan LBH Indonesia mendesak aparat
kepolisian agar mengusut secara tuntas tewasnya Johny Sembiring
dan mengumumkan secara terbuka kepada publik tentang hasil
pengusutan tersebut.
     Kedua, Yayasan LBH Indonesia berpandangan bahwa merebaknya
usaha jasa penagihan utang (debt collector) tidak dapat
dilepaskan dari laju perkembangan bisnis yang begitu cepat pada
era sekarang. Sementara birokrasi lembaga hukum sengketa utang
piutang seperti pengadilan atau arbitrase tidak dapat
mengimbanginya karena tidak efektif dan bertele-tele. Adalah hal
yang lumrah bila masyarakat kemudian lebih menumpukan persoalan
sengketa utang piutangnya pada lembaga debt collector tersebut.
     Berpijak dari hal tersebut Yayasan LBH Indonesia mendesak
agar upaya aparat hukum untuk melakukan penertiban jasa debt
collector seyogyanya dilakukan tindakan yang menyeluruh dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a. Sejauh mana aktivitas bisnis telah terlibat dan memerlukan
    jasa mereka;
b. Langkah penertiban tidak akan mencapai hasil optimal tanpa
    diikuti langkah pembenahan lainnya misalnya pelengkapan
    prasarana hukum dan pembenahan lembaga peradilan yang selama
    ini pelayanan birokrasinya bertele-tele;
c. Penertiban dengan tindakan diluar hukum atau dengan cara-cara
    "kekerasan" niscaya hanya merugikan masyarakat luas yang
    memperjelas adanya ketidakpastian hukum.
DIKELUARKAN DI : JAKARTA
PADA TANGGAL : 22 AGUSTUS 1994
BADAN EKSEKUTIF YAYASAN LBH INDONESIA
     ttd.
H E N D A R D I
Dir. Komunikasi dan
Program Khusus

Olo Panggabean, The Real Godfather Of Medan

Olo Panggabean lahir di Tarurung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara 24 Mei 1941. Nama lengkapnya adalah Sahara Oloan Panggabean, tapi lebih suka di panggil OLO, yang dalam bahasa Tapanuli artinya YA atau OK.
Pada masa hidupnya, untuk menemui atau hanya melihat sosok “Ketua” itu bukanlah perkara gampang. Hanya orang-orang tertentu yang tahu keberadaannya di suatu tempat, itupun dengan pengawalan berlapis-lapis yang selalu mengitari kemanapun dia pergi. Sang “Ketua” itu pun selalu menghindari wartawan. Dia bahkan pernah memberikan uang kepada wartawan untuk tidak mewawancarai ataupun mengabadikan dirinya melalui foto.
Sosoknya sangat bertolak belakang dari sebutannya yang dikenal sebagai “Kepala Preman.” Perawakannya seperti orang biasa dengan penampilan yang cukup sederhana. Ia hanya mengunakan sebuah jam tangan emas tanpa satupun cincin yang menempel di jarinya. Sorot matanya terlihat berair seperti mengeluarkan air mata, tetapi memiliki lirikan yang sangat tajam. “Jangan panggil saya Pak. Panggil saja Bang, soalnya saya kan sampai sekarang masih lajang,”ujar Olo sambil tertawa. Meski begitu, pengawal rata-rata bertubuh besar berkumis tebal dengan kepalan rata-rata sebesar buah kelapa.
Olo Panggabean diperhitungkan setelah keluar dari organisasi Pemuda Pancasila, saat itu di bawah naungan Effendi Nasution alias Pendi Keling, salah seorang tokoh Eksponen ’66’. Tanggal 28 Agustus 1969, Olo Panggabean bersama sahabat dekatnya, Syamsul Samah mendirikan IPK. Masa mudanya itu, dia dikenal sebagai preman besar.
Wilayah kekuasannya di kawasan bisnis di Petisah. Dia juga sering dipergunakan oleh pihak tertentu sebagai debt collector. Sementara organisasi yang didirikan terus berkembang, sebagai bagian dari lanjutan Sentral Organisasi Buruh Pancasila (SOB Pancasila), di bawah naungan dari Koordinasi Ikatan – Ikatan Pancasila (KODI), dan pendukung Penegak Amanat Rakyat Indonesia (Gakari).
Melalui IPK Olo kemudian membangun “kerajaannya” yang sempat malang melintang di berbagai aspek kehidupan di Sumut dan menghantarkannya dengan julukan “Ketua.” Selain kerap disebut “Kepala Preman”, yang dikaitkan dari nomor seri plat kendaraannya yang seluruhnya berujung “KP”, Olo juga dikenal orang sebagai “Raja Judi” yang mengelola perjudian di Sumut. Namun segala hal tersebut, belum pernah tersentuh atau dibuktikan oleh pihak yang berwajib. Terasa, tapi tidak teraba.
Olo Panggabean pernah dituding sebagai pengelola sebuah perjudian besar di Medan. Semasa Brigjen Pol Sutiono menjabat sebagai Kapolda Sumut (1999), IPK pernah diminta untuk menghentikan praktik kegiatan judi. Tudingan itu membuat Moses Tambunan marah besar. Sebagai anak buah Olo Panggabean, Moses menantang Sutiono untuk dapat membuktikan ucapannya tersebut.
Persoalan ini diduga sebagai penyulut insiden di kawasan Petisah. Anggota brigade mobile (Brimob) terluka akibat penganiayaan sekelompok orang. Merasa tidak senang, korban yang terluka itu melaporkan kepada rekan rekannya. Insiden ini menjadi penyebab persoalan, sekelompok oknum itu memberondong tempat kediamana Olo “Gedung Putih” dengan senjata api.
Pada pertengahan 2000, ia menerima perintah panggilan dari Sutanto (saat itu menjabat sebagai Kapolda Sumut) terkait masalah perjudian namun panggilan tersebut ditolaknya dengan hanya mengirimkan seorang wakil sebagai penyampai pesan.
Sejak jabatan Kapolri disandang Sutanto pada tahun 2005, kegiatan perjudian yang dikaitkan dengan Olo telah sedikit banyak mengalami penurunan.[1]. Semasa Sutanto menjadi Kapolri, bisnis judi Olo diberantas habis sampai keakar akarnya. Sutanto berhasil memberantas judi di Sumatera Utara kurang dari tiga tahun, suatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh Kapolri sebelumnya. Sejak itu, Olo dikabarkan memfokuskan diri pada bisnis legal, seperti POM Bensin , Perusahaan Otobus (PO) dan sebagainya.
Pada akhir 2008, Olo Panggabean yang kembali harus berurusan pihak polisi. Namun kali ini, kasusnya berbeda yakni untuk melaporkan kasus penipuan terhadap dirinya oleh sejumlah rekannya dalam kasus jual beli tanah sebesar Rp 20 miliar di kawasan Titi Kuning, Medan Johor. Namun terlepas dari apa kata orang terhadap Olo Panggabean, sejumlah langkah positif dalam perjalanan hidupnya pantas dicatat dengan tinta emas. Terutama sikap kedermawanannya dan kepeduliannya kepada rakyat tidak berkemampuan.
Kisah sedih bayi kembar siam Angi-Anjeli anak dari pasangan Subari dan Neng Harmaini yang kesulitan membiayai dana operasi pemisahan di Singapura, tahun 2004 adalah satu contoh kedermawanan Olo paling mendebarkan.
Ibu sang bayi, Neng Harmaini, melahirkan mereka di RS Vita Insani, Pematang Siantar, Rabu, 11 Pebruari 2004 pukul 08.00 WIB, melalui operasi caesar. Bayi kembar siam ini harus diselamatkan dengan operasi cesar, tapi orangtuanya tidak mampu. Ditengah pejabat Pemprovsu dan Pemko Siantar masih saling lempar wacana untuk membantu biaya operasi, malah Olo Panggabean bertindak cepat menanggung semua biaya yang diperlukan.
Bahkan saat bayi bernasib sial itu tiba di Bandara Polonia Medan dengan pesawat Garuda Indonesia No. GIA 839 pada Senin 18 Juli 2004 sekitar pukul 11.30, Olo Panggabean menyempatkan diri menyambut dan menggendongnya.
Saat itu Angi dan Anjeli terseyum manis, mereka mudah akrab dengan orang yang berjasa untuk mengoperasi mereka. Banyak orang tereyuh dan orng tua Angi dan Anjeli, nyaris rubuh pingsan karena terharu. Maklum, setelah membiayai semua perobatan di rumah sakit, Olo masih bersedia menyambutnya di Bandara.
Kisah kedermawanan Ketua sudah banyak dirasakan masyarakat kurang mampu di Sumatera Utara.Tidak sekedar membiayai perobatan orang sakit, tapi juga dalam bentuk lain berupa biaya pendidikan, modal kerja untuk menghidupi keluarga.
Olo telah meninggal dunia Kamis, 30 April 2009  jam 14.00 di rumah sakit Glenegles Medan Sumatera Utara. Olo meninggal pada usia 67 Tahun. Jenazah disemayamkan dirumah duka jalan Sekip.

Legenda Preman Medan Yang Jadi Pahlawan dan Dermawan

Medan Story - Siapa saja sosok preman Medan yang melegenda? HMY Effendi Nasution dan Sahara Oloan Panggabean boleh jadi masuk dalam golongan ini.

Ada banyak alasan sehingga HMY Effendi Nasution yang dikenal dengan Pendi Keling dan Sahara Oloan Panggabean atau Olo Panggabean sebagai legenda. Kiprah keduanya semasa hidup setidaknya pernah membuat preman Medan tak lagi berkutat di pinggir jalan.

Dimulai dari Pendi Keling. Petinju ini berhasil mempersatukan para preman di Medan pada awal 1960-an sehingga mereka menjadi kekuatan politik.

"Waktu itu kami anak jalanan biasanya ada di bioskop-bioskop. Kami hidup dari black market. Catut film. Kalau ada band-band yang datang dari Jakarta, mudah-mudahan kami bisa mencatut. Nanti donatur-donatur bilang suruh jaga, kita jaga," kata Anwar Congo, salah seorang rekan Pendi Keling.

Upaya Pendi Keling menyatukan rekan-rekannya dalam satu organisasi berhasil membuat mereka tak lagi disebut preman. Mengusung panji Pemuda Pancasila, mereka ikut membasmi simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tindakan mereka berbuah manis. Pemuda Pancasila pun menjelma menjadi organisasi kepemudaan besar di negeri ini. Di bawah kepemimpinan Pendi Keling, para preman yang umumnya mangkal di bioskop-bioskop menjelma menjadi orang terpandang dan tak jarang punya peran di dunia politik.

Karena kiprahnya, Pendi Keling pun mendapat julukan Singa Sumatera. Dia juga sempat dipercaya menjadi anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) di Jakarta, selama dua tahun sejak 1968.

Pendi Keling meninggal dunia 26 Agustus 1997, pada usia 63 tahun. Jalan HMY Efendi Nasution yang ditabalkan sebagai nama salah satu jalan di Kota Medan mengabadikan legendanya.

Sementara itu, bekas anggota Pendi Keling, Olo Panggabean punya kisah tak kalah mentereng. Namanya menanjak setelah keluar dari Pemuda Pancasila dan membentuk Ikatan Pemuda Karya (IPK) pada 28 Agustus 1969 dan membangun 'kerajaannya'.

Di masa jayanya, Olo Panggabean kerap dikaitkan dengan perjudian yang pernah sangat marak dan bebas di Kota Medan. Pria kelahiran Tarutung 24 Mei 1941 ini juga dipanggil sebagai Ketua.

Tak banyak orang yang bertemu langsung dengan Olo Panggabean. Wajahnya juga sangat jarang diabadikan kamera wartawan. Sepak terjangnya pun hanya jadi cerita dari mulut ke mulut, dan tak ada upaya membuktikan kebenarannya.

Begitupun, karisma nama Olo Panggabean di Sumut melebihi para pejabat. 'Gedung Putih, kediamannya di Jalan Sekip, Medan, pun tak kalah kondang.

Penghormatan orang kepada Olo Panggabean bisa dilihat saat dia berulang tahun, Natal dan Tahun Baru. Jajaran papan bunga ucapan selamat, termasuk dari para pejabat, memenuhi kawasan sepanjang Jalan Sekip dan jalan-jalan sekitarnya.

Meski sering dikaitkan dengan 'dunia hitam', Olo Panggabean juga dikenal sebagai sosok dermawan. Dia banyak membantu warga tidak mampu. Salah satu contohnya adalah ketika Olo Panggabean membiayai operasi pemisahan bayi kembar siam Angi-Anjeli di Singapura pada 2004.

Bintang Olo Panggabean kemudian meredup sejak jabatan Jenderal Sutanto menjabat Kapolri pada 2005. Praktik perjudian di Sumut, yang sering dikaitkan dengannya, diberantas habis sampai ke akar-akarnya.

Olo Panggabean meninggal dunia karena sakit di RS Glenegles, Medan pada Kamis,30 April 2009. Dia kemudian dimakamkan di Tanjung Morawa, Deliserdang.

Sumber : Merdeka.com

Sejarah Kota Medan

Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera. DAN SEI DELI..

Sejarah awal Kota Medan

Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus merga Sembiring Pelawi, lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.
Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah di antara kedua sungai tersebut.
Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa di samping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.
Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.
Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan di sana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.
Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama "Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.
Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok. Mata pencarian orang di Kampung Medan yang mereka namai dengan si Sepuluh dua Kuta adalah bertani menanam lada. Tidak lama kemudian lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.
Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang berfikiran maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu) membaca Al-Qur'an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.
Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli: In Woord en Beeld ditulis oleh N. ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai Deli dan sungai Babura. Rumah Administrateur terletak di seberang sungai dari kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau Deli yang sekarang ini.

Penaklukan Aceh

Sekitar tahun 1612 setelah dua dasa warsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Kesultanan Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli. Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.
Dengan tampilnya Gocah pahlawan mulailah berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan Nangaluan Beru Surbakti yang merupakan putri Datuk Sunggal bergelar Sri Indra Baiduzzaman Surbakti dimana setelah terjadi perkawinan ini raja-raja urung di kuta Medan menyerah pada Gocah Pahlawan, dimana urung-urung ini tetap merdeka dengan kata lain tidak membayar upeti kepada raja Deli.
Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibukotanya di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.

Masa Belanda

Belanda yang menjajah Nusantara kurang lebih tiga setengah abad namun untuk menguasai Tanah Deli mereka sangat banyak mengalami tantangan yang tidak sedikit. Mereka mengalami perang di Jawa dengan Pangeran Diponegoro sekitar tahun 1825-1830. Belanda sangat banyak mengalami kerugian sedangkan untuk menguasai Sumatera, Belanda juga berperang melawan Iskandar MudaAceh, Kisar Bangun si Gara mata di tanah Karo dan Aceh, Imam Bonjol di Minangkabau, dan Raja Sisingamangaraja XII di daerah Tapanuli.
Jadi untuk menguasai Tanah Deli Belanda hanya kurang lebih 78 tahun mulai dari tahun 1864 sampai 1942. Setelah perang Jawa berakhir barulah Gubernur Jenderal Belanda Johannes van den Bosch mengerahkan pasukannya ke Sumatera dan dia memperkirakan untuk menguasai Sumatera secara keseluruhan diperlukan waktu 25 tahun. Penaklukan Belanda atas Sumatera ini terhenti di tengah jalan karena Menteri Jajahan Belanda waktu itu Jean Chrétien Baud menyuruh mundur pasukan Belanda di Sumatera walaupun mereka telah mengalahkan Minangkabau yang dikenal dengan nama Perang Paderi (1821-1837).
Sultan Ismail yang berkuasa di Riau secara tiba-tiba diserang oleh gerombolan Inggeris dengan pimpinannya bernama Adam Wilson. Berhubung pada waktu itu kekuatannya terbatas maka Sultan Ismail meminta perlindungan pada Belanda. Sejak saat itu terbukalah kesempatan bagi Belanda untuk menguasai Kesultanan Siak Sri Indrapura yang rajanya adalah Sultan Ismail. Pada tanggal 1 Februari 1858 Belanda mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani perjanjian agar daerah taklukan kerajaan Siak Sri Indrapura termasuk Deli, Langkat dan Serdang di Sumatera Timur masuk kekuasaan Belanda. Karena daerah Deli telah masuk kekuasaan Belanda otomatislah Kampung Medan menjadi jajahan Belanda, tapi kehadiran Belanda belum secara fisik menguasai Tanah Deli.
Pada tahun 1858 juga Elisa Netscher diangkat menjadi Residen Wilayah Riau dan sejak itu pula dia mengangkat dirinya menjadi pembela Sultan Ismail yang berkuasa di kerajaan Siak. Tujuan Netscher itu adalah dengan duduknya dia sebagai pembela Sultan Ismail secara politis tentunya akan mudah bagi Netscher menguasai daerah taklukan Kesultanan Siak yakni Deli yang di dalamnya termasuk Kampung Medan Putri.

Perkebunan Tembakau

Medan tidak mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1860-an, ketika penguasa-penguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk perkebunan tembakau. Jacob Nienhuys, Van der Falk, dan Elliot, pedagang tembakau asal Belanda memelopori pembukaan kebun tembakau di Tanah Deli. Nienhuys yang sebelumnya berbisnis tembakau di Jawa, pindah ke Deli diajak seorang Arab Surabaya bernama Said Abdullah Bilsagih, Saudara Ipar Sultan Deli, Mahmud Perkasa Alam Deli. Nienhuys pertama kali berkebun tembakau di tanah milik Sultan Deli seluas 4.000 Bahu di Tanjung Spassi, dekat Labuhan. Maret 1864, Nienhuys mengirim contoh tembakau hasil kebunnya ke Rotterdam, Belanda untuk diuji kualitasnya. Ternyata, daun tembakau itu dianggap berkualitas tinggi untuk bahan cerutu. Melambunglah nama Deli di Eropa sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik.
Seperti yang dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar dalam bukunya, dijelaskan bahwa "kuli-kuli perkebunan itu umumnya orang-orang Tionghoa yang didatangkan dari Jawa, Tiongkok, Singapura, atau Malaysia, dimana disebutkan dalam catatan berbahasa Belanda bahwa “Belanda menganggap orang-orang Karo dan Melayu malas serta melawan sehingga tidak dapat dijadikan kuli”
Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Jacob Nienhuys, Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli. Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.
Perjanjian tembakau ditandatangani Belanda dengan Sultan Deli pada tahun 1865. Selang dua tahun, Nienhuys bersama Jannsen, P.W. Clemen, dan Cremer mendirikan perusahaan De Deli Maatschappij yang disingkat Deli Mij di Labuhan. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli Mij dari Labuhan ke Kampung Medan. Kantor baru itu dibangun di pinggir sungai Deli, tepatnya di kantor PTPN II (eks PTPN IX) sekarang. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat. Pesatnya perkembangan perekonomian mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah uang. Mereka kemudian membuka perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal pada tahun 1869, serta sungai Beras dan Klumpang pada tahun 1875.

Kemudian pada tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan Deli Maatschappij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai "Kota Medan".
Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887, ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dari Bengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.
Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mackay. Berdasarkan "Acte van Schenking" (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.
Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang.
Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa di antaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).
Secara historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang dijadikannya medan sebagai ibukota deli juga telah menjadikannya Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintah. sampai saat ini di samping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara.

Masa Penjajahan Jepang

Tahun 1942 penjajahan Belanda berakhir di Sumatera yang ketika itu Jepang mendarat dibeberapa wilayah seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan khusus di Sumatera Jepang mendarat di Sumatera Timur.
Tentara Jepang yang mendarat di Sumatera adalah tentara XXV yang berpangkalan di Shonanto yang lebih dikenal dengan nama Singapura, tepatnya mereka mendarat tanggal 11 malam 12 Maret 1942. Pasukan ini terdiri dari Divisi Garda Kemaharajaan ke-2 ditambah dengan Divisi ke-18 dipimpin langsung oleh Letjend. Nishimura. Ada empat tempat pendaratan mereka ini yakni Sabang, Ulele, Kuala Bugak (dekat Peureulak, Aceh Timur sekarang) dan Tanjung Tiram (kawasan Batubara sekarang).
Pasukan tentara Jepang yang mendarat di kawasan Tanjung Tiram inilah yang masuk ke Kota Medan, mereka menaiki sepeda yang mereka beli dari rakyat di sekitarnya secara barter. Mereka bersemboyan bahwa mereka membantu orang Asia karena mereka adalah saudara Tua orang-orang Asia sehingga mereka dieluelukan menyambut kedatangannya.
Ketika peralihan kekuasaan Belanda kepada Jepang Kota Medan kacau balau, orang pribumi mempergunakan kesempatan ini membalas dendam terhadap orang Belanda. Keadaan ini segera ditertibkan oleh tentara Jepang dengan mengerahkan pasukannya yang bernama Kempetai (Polisi Militer Jepang). Dengan masuknya Jepang di Kota Medan keadaan segera berubah terutama pemerintahan sipilnya yang zaman Belanda disebut gemeentebestuur oleh Jepang diubah menjadi Medan Sico (Pemerintahan Kotapraja). Yang menjabat pemerintahan sipil di tingkat Kotapraja Kota Medan ketika itu hingga berakhirnya kekuasaan Jepang bernama Hoyasakhi. Untuk tingkat keresidenan di Sumatera Timur karena masyarakatnya heterogen disebut Syucokan yang ketika itu dijabat oleh T.Nakashima, pembantu Residen disebut dengan Gunseibu.
Penguasaan Jepang semakin merajalela di Kota Medan mereka membuat masyarakat semakin papa, karena dengan kondisi demikianlah menurut mereka semakin mudah menguasai seluruh Nusantara, semboyan saudara Tua hanyalah semboyan saja. Di sebelah Timur Kota Medan yakni Marindal sekarang dibangun Kengrohositai sejenis pertanian kolektif. Di kawasan Titi Kuning Medan Johor sekarang tidak jauh dari lapangan terbang Polonia sekarang mereka membangun landasan pesawat tempur Jepang.

Masa Kemerdekaan

Dimana-mana di seluruh Indonesia menjelang tahun 1945 bergema persiapan Proklamasi demikian juga di Kota Medan tidak ketinggalan para tokoh pemudanya melakukan berbagai macam persiapan. Mereka mendengar bahwa bom atom telah jatuh melanda Kota Hiroshima, berarti kekuatan Jepang sudah lumpuh. Sedangkan tentara sekutu berhasrat kembali untuk menduduki Indonesia.
Khususnya di kawasan kota Medan dan sekitarnya, ketika penguasa Jepang menyadari kekalahannya segera menghentikan segala kegiatannya, terutama yang berhubungan dengan pembinaan dan pengerahan pemuda. Apa yang selama ini mereka lakukan untuk merekrut massa pemuda seperti Heiho, Romusha, Gyu Gun dan Talapeta mereka bubarkan atau kembali kepada masyarakat. Secara resmi kegiatan ini dibubarkan pada tanggal 20 Agustus 1945 karena pada hari itu pula penguasa Jepang di Sumatera Timur yang disebut Tetsuzo Nakashima mengumumkan kekalahan Jepang. Ia juga menyampaikan bahwa tugas pasukan mereka dibekas pendudukan untuk menjaga status quo sebelum diserah terimakan pada pasukan sekutu. Sebagian besar anggota pasukan bekas Heiho, Romusha, Talapeta dan latihan Gyu Gun merasa bingung karena kehidupan mereka terhimpit dimana mereka hanya diberikan uang saku yang terbatas, sehingga mereka kelihatan berlalu lalang dengan seragam coklat di tengah kota.
Beberapa tokoh pemuda melihat hal demikian mengambil inisiatif untuk menanggulanginya. Terutama bekas perwira Gyu Gun di antaranya Letnan Achmad Tahir mendirikan suatu kepanitiaan untuk menanggulangi para bekas Heiho, Romusha yang famili/saudaranya tidak ada di kota Medan. Panitia ini dinamai dengan “Panitia Penolong Pengangguran Eks Gyu Gun“ yang berkantor di Jl. Istana No.17 (Gedung Pemuda sekarang).
Tanggal 17 Agustus 1945 gema kemerdekaan telah sampai ke kota Medan walupun dengan agak tersendat-sendat karena keadaan komunikasi pada waktu itu sangat sederhana sekali. Kantor Berita Jepang “Domei" sudah ada perwakilannya di Medan namun mereka tidak mau menyiarkan berita kemerdekaan tersebut, akibatnya masyarakat tambah bingung.
Sekelompok kecil tentara sekutu tepatnya tanggal 1 September 1945 yang dipimpin Letnan I Pelaut Brondgeest tiba di kota Medan dan berkantor di Hotel De Boer (sekarang Hotel Dharma Deli). Tugasnya adalah mempersiapkan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Pada ketika itu pula tentara Belanda yang dipimpin oleh Westerling didampingi perwira penghubung sekutu bernama Mayor Yacobs dan Letnan Brondgeest berhasil membentuk kepolisian Belanda untuk kawasan Sumatera Timur yang anggotanya diambil dari eks KNIL dan Polisi Jepang yang pro Belanda.
Akhirnya dengan perjalanan yang berliku-liku para pemuda mengadakan berbagai aksi agar bagaimanapun kemerdekaan harus ditegakkan di Indonesia demikian juga di kota Medan yang menjadi bagiannya. Mereka itu adalah Achmad Tahir, Amir Bachrum Nasution, Edisaputra, Rustam Efendy, Gazali Ibrahim, Roos Lila, A.malik Munir, Bahrum Djamil, Marzuki Lubis dan Muhammad Kasim Jusni.

1990-an dan 2000-an

Pada tahun 1998, dari 1 hingga 12 Mei, Medan dilanda kerusuhan besar yang menjadi titik awal kerusuhan-kerusuhan besar yang kemudian terjadi di sepanjang Indonesia, termasuk Peristiwa Mei 1998 di Jakarta seminggu kemudian. Dalam kerusuhan yang terkait dengan gerakan "Reformasi" ini, terjadi pembakaran, perusakan, maupun penjarahan yang tidak dapat dihentikan aparat keamanan.
Pada durasi Tragedi Trisakti hingga Kerusuhan Mei 1998 selama pada tanggl 12 Mei hingga sekarang karena tidak dapat bekerja kantor dan pendidikan lagi waktunya menjelang libur umum semasa pada tidak terbit dari media massa, Sementara Bandar Udara Internasional Polonia dari seluruh dibuka selama 24-jam setiap hari, Pada tanggal 21 Mei tepat pada pukul 02:00 WIB sebagai libur umum besar sudah upacara penutup telah berhenti bandar udara dari semuanya berkumpul pindah ke Kuala Lumpur (adalah ibu kota negara Malaysia) yang tidak kembali tempat tinggal lagi dan bandar udara ke dari pesawat terbang milik penerbangan Malaysia Airlines Penerbangan Airbus A330 tiba ke Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur (dulu Bandar Udara Sultan Abdul Aziz Shah) dari kawasan Subang Jaya, Kota Petaling, Negara Bagan Selangor, Daerah Semenanjung Malaysia, Negara Malaysia.
Saat ini kota Medan telah kembali berseri. Pembangunan sarana dan prasarana umum gencar dilakukan. Meski jumlah jalan-jalan yang rusak, berlobang masih ada, namun jika dibandingkan dahulu, sudah sangat menurun.[butuh rujukan] Kendala klasik yang dihadapi kota modern seperti Medan adalah kemacetan akibat jumlah kenderaan yang meningkat pesat dalam hitungan bulan, tidak mampu diimbangi dengan peningkatan sarana jalan yang memadai.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com